Wednesday 23 September 2015

KRISIS-KRISIS YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SEJAK ZAMAN KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG

KRISIS-KRISIS YANG PERNAH TERJADI DI INDONESIA SEJAK ZAMAN KEMERDEKAAN SAMPAI SEKARANG
                          
1. Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950) 

 Orde lama (Demokrasi Terpimpin) 
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh : 
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga. 
b. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI. 
c. Kas negara kosong. 
d. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan. 

Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain : 
a.Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946. 
b.Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
c.Konferensi Ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
d.Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947 Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948, mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
e.Kasimo Plan yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik (mengikuti Mazhab Fisiokrat : 
sektor pertanian merupakan sumber kekayaan). 
 Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase.Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama. Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik. Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang.

2.  Masa Demokrasi Liberal (1950-1957) 
 Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. 
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain : 
a)      Gunting Syarifuddin, yaitu pemotongan nilai uang (sanering) 20 Maret 1950, untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun. 

b)      Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-pribumi. 

c)       Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951 lewat UU no.24 th 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. 

d)      Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman, sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. 

e)      Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar, termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. 

3. Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967) 

                Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (mengikuti Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa ini belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia, antara lain : 

a)      Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang sebagai berikut :Uang kertas pecahan Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan. 


b)      Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962 harga barang-baranga naik 400%. 

c)       Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000 menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi. Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salah satu konsekuensi dari pilihan menggunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, eonomi, maupun bidang-bidang lain. 

4.Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila) 
 Awal terjadinya berbagai krisis yang muncul di Indonesia adalah adanya devaluasi mata uang Baht oleh pemerintah Thailand pada tanggal 2 Juli 1997 sebagai akibat adanya kegiatan di pasar valuta asing, khususnya dolar Amerika Serikat. Kemudian merambat ke Filipina, Malaysia dan Indonesia.Pada mulanya kurs dolar Amerika Serikat US$ 1 = Rp 2.400,- menjadi US$ 1 = Rp 3.000,-. Kemudian naik terus (pada bulan Agustus – November 1997) sampai menunjukan angka US$1 = Rp 12.000,-. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia antara lain dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) sampai 30%, dengan harapan menurunkan inflasi.

 Namun kenyataan dilapangan, bank-bank menaikanleading rate (tingkat suku bunga kredit) karena cost of loanable pundsmengalami kenaikkan pada semua bank. Akibat lainnya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga meningkat tajam, karena bank-bank mengalami kesukaran likuiditasnya. Kondisi ini bahkan meningkatkan laju inflasi dari 11,05% pada tahun 1997 menjadi 77,63% pada tahun 1998 Krisis nilai tukar / krisis moneter merupakan pemicu awal terjadinya krisis perbankan dan krisis ekonomi pada tahun 1997 diikuti oleh krisis-krisis lainnya, karena kepercayaan masyarakat rendah dengan kondisi sector perbankan yang rapuh. Hal ini terjadi karena kebijakan perbankan yang sangat liberal. Sampai hamper satu decade setelah krisis perbankan masih tetap menjadi bagian dari krisis ekonomi. Kondoso LDR (Loan to Deposit Ratio) perbankan masih rendah. Sepertiga bahkan sampai 40% dana perbankan tidak bisa disalurkan sebagai kredit untuk usaha dan bisnis. Dana perbankan banyak dimainkan untuk investasi bukan disektor riil. Sebagai kebalikan aturan perbankan sebelum krisis, setelah krisis perbankan dijerat dengan berbagai aturan yang sangat ketat, sehingga mengorbankan sector riil. Kondisi sector industry akhirnya juga mengalami kemacetan. Akibat selanjutnya tidak hanya krisis moneter, krisis perbankan dan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tetapi juga diikuti krisis sosial, krisis kepercayaan dan krisis polotik.

Seperti yang dikemukakan berbagai pengamat ekonomi (Lukman Dendawijaya, 2003) krisis yang melanda 
Indonesia sejak Juli 1997 hingga tahun 2003 adalah sebagai berikut:

1.      Krisis Moneter, Indikatornya :

a.       Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
b.      Neraca pembayaran (Balance of Payment) yang negative
c.       L/C bank-bank nasional tidak diterima oleh perbankan internasional
d.      Uang beredar terus meningkat.

2.      Krisis Perbankan, Indikatornya :

a.       Likuidasi bank ditutup
b.      Pembentukan BPPN untuk menyehatkan bank-bank
c.       Bank beku operasi dan bank take over
d.      Utang luar negeri yang membengkak
e.       Tingkat suku bunga SBI naik terus, mulai 30%, 40% dan 45% jangka waktu 1 bulan
f.       Tingkat suku bunga deposito bank umum 45%, 55% dan 65% jangka waktu 1 bulan
g.      Utang bank dalam bentuk BLBI melampaui 200%-500%.


3.      Krisis Ekonomi, Indikatornya :

a.       Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi, hingga mencapai 70%
b.      Stagnasi di sector riil
c.       Tingkat inflasi sangat tinggi (inflasi mencapai 24% dalam 3 bulan pertama tahun 1998)
d.      PHK di berbagai sector riil.

                Krisis pertama yang dialami Indonesia masa orde baru adalah kondisi ekonomi yang sangat parah warisan orde lama.Sebagian besar produksi terhenti dan laju pertumbuhan ekonomi selama periode 1962-1966 kurang dari 2% yang mengakibatkan penurunan pendapatan per kapita.Defisit anggaran belanja pemerintah yang sebagian besar dibiayai dengan kredit dari BI meningkat tajam dari 63%  dari penerimaan pemerintah tahun 1962 menjadi127% tahun 1966.Selain itu,buruknya perekonomian Indonesia masa transisi juga disebabkan oleh besarnya defisit neraca perdagangan dan utang luar negeri,yang kebanyakan diperoleh dari negara blok timur serta inflasi yang sangat tinggi.Disamping itu,pengawasan devisa yang amat ketat menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS naik dua atau tiga kali lipat.Akibatnya terjadi kegiatan spekulatif dan pelarian modal ke luar negeri.Hal ini memperburuk perekonomian Indonesia pada masa itu (Siregar,1987).Krisis kedua adalah laju inflasi yang tinggi pada tahun 1970-an.Hal ini disebabkan karena banyaknya jumlah uang yang beredar dan krisis pangan akhir tahun 1972.Laju inflasi memuncak hingga 41% tahun 1974 (Hill,1974).Selain itu terjadi devaluasi rupiah sebesar 50% pada November 1978.Bulan September 1984,Indonesia mengalami krisis perbankan ,yang bermula dari deregulasi perbankan 1 Juni 1983 yang memaksa bank-bank negara untuk memobilisasi dana mereka dan memikul risiko kredit macet,serta bebas untuk menentukan tingkat suku bunga,baik deposito berjangka maupun kredit (Nasution,1987).Masalah-masalah tersebut terus berlangsung hingga terjadi krisis ekonomi yang bermula pada tahun 1997.

 Terakhir,antara tahun 1990-1995 ekonomi Indonesia beberapa kali mengalami gangguan dari waktu ke waktu.Pertama,walaupun tidak menimbulkan suatu krisis yang besar,apresiasi nilai tukar yen Jepang terhadap dollar AS sempat merepotkan Indonesia.Laju pertumbuhan ekspor Indonesia sempat terancam menurun dan beban ULN dari pemerintah Jepang meningkat dalam nilai dollar AS.Kedua,pada awal tahun 1994,perekonomian Indonesia cukup terganggu dengan adanya arus pembelian dollar AS yng bersifat spekulatif karena beredar isu akan adanya devaluasi rupiah (Tambunan,1998).Sumber: Tambunan (1998)  pertukaran bath-dollar Dari tahun 1985 ke tahun 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 1996, dana hedge Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai.Dari 1985 sampai 2 Juli 1997, baht dipatok 25 bath per dollar AS.Pada tanggal 14 dan tanggal 15 Mei 1997, nilai tukar bath Thailand terhadap dolar AS mengalami goncangan akibat para investor asing mengambil keputusan “jual”, karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian dan ketidakstabilan politik Negara Thailand. Untuk mempertahankan nilai tukar bath agar tidak jatuh terus, Thailand melakukan intervensi yang didukung oleh Bank Sentral Singapura. Namun, pada tanggal 2 Juli 1997, Bank Sentral Thailand mengumumkan bahwa nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dollar AS dan meminta bantuan IMF.

Pengumuman ini menyebabkan nilai bath terdepresiasi sekitar 15-20% hingga mencapai nilai terendah, yakni 28,20 bath per dollar AS. Pada 1997, sebenarnya kondisi ekonomi di Indonesia tampak jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, tingkat inflasi Indonesia lebih rendah. Nilai tukar rupiah terhadap dolar, menguat. Dalam kondisi ekonomi seperti itulah, banyak perusahaan di Indonesia meminjam uang dalam bentuk dolar AS.Krisis moneter yang terjadi di Thailand ini, menyebabkan Indonesia dan beberapa negara Asia, seperti Filipina, Korea dan Malaysia mengalami krisis keuangan. Ketika krisis melanda Thailand, nilai baht terhadap dolar anjlok dan menyebabkan nilai dolar menguat. Penguatan nilai tukar dolar berimbas ke rupiah. Sekitar bulan Juli 1997, di Indonesia terjadi depresiasi nilai tukar rupiah, nilai rupiah terus merosot. Di bulan Agustus 1997 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp2.500,00 menjadi Rp2.650,00 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil. Padahal, pada saat itu hutang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, sudah sangat besar. Tatanan perbankan nasional kacau dan cadangan devisa semakin menipis.Perusahaan yang tadinya banyak meminjam dolar (ketika nilai tukar rupiah kuat terhadap dolar), kini sibuk memburu atau membeli dolar untuk membayar bunga pinjaman mereka yang telah jatuh tempo, dan harus dibayar dengan dolar. Nilai rupiah pun semakin jatuh lebih dalam lagi. IMF datang dengan paket bantuan 23 milyar dolar, tapi tidak mampu memperbaiki keadaan. Malahan akhirnya paket bantuan IMF itu, yang dalampenggunaannya banyak terjadi penyelewengan, semakin menambah beban utang yang harus ditanggung oleh rakyat Indonesia.Krisis Rupiah Hingga Krisis Ekonomi

                Indonesia merupakan salah satu Negara di Asia yang mengalami krisis mata uang, kemudian disusul oleh krisis moneter dan berakhir dengan krisis ekonomi yang besar. Seperti diungkapkan oleh Haris (1998), “Krisis ekonomi yang dialami Indonesia sejak tahun 1997 adalah yang paling parah sepanjang orde baru. Ditandai dengan merosotnya kurs rupiah terhadap dolar yang luar biasa, serta menurunnya pendapatan per kapita bangsa kita yang sangat drastis. Lebih jauh lagi, sejumlah pabrik dan industri yang bakal collaps atau disita oleh kreditor menyusul utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo pada tahun 1998 tak lama lagi akan menghasilka ribuan pengngguran baru dengan sederet persoalan sosial. Ekonom, dan politik yang baru pula” 

 Menurut Fischer (1998), sesungguhnya pada masa kejayaan Negara-negara Asia Tenggara, krisis d beberapa negara, seperti Thailand, Korea Selatan, dan Indonesia, sudah bisa diramalkan meski waktunya tidak dapat dipastikan.Misalnya di Thailand dan Indonesia, defisit neraca perdagangan terlalu besar dan terus meningkat setiap tahun, sementara pasar properti dan pasar modal di dalam negeri berkembang pesat tanpa terkendali. Selain itu, nilai tukar mata uang di dua Negara tersebut dipatok terhadap dolar AS terlalu rendah yang mengakibatkan ada kecenderungan besar dari dunia usaha didalam negeri untuk melakukan pinjaman luar negeri, sehingga banyak perusahaan dan lembaga keuangan di negara-negara itu menjadi sangat rentan terhadap risiko perubahan nilai tukar valuta asing. Dan yang terakhir adalah aturan serta pengawasan keuangan oleh otoriter moneter di Thailand dan Indonesia yang sangat longgar hingga kualitas pinjaman portfolio perbankan sangat rendah.Anggapan Fischer tersebut dapat membantu untuk menentukan apakah krisis rupiah terjadi karena krisis bath Thailand.  Sementara menurut McLeod (1998), krisis rupiah di Indonesia adalah hasil dari akumulasi kesalahan-kesalahan pemerintah dalam kebijakan-kebijakan ekonominya selama orde baru, termasuk diantaranya kebijakan moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah pada tingkat yang overvalued.

 Krisis moneter yang terjadi di Indonesia sejak awal Juli 1997, di akhir tahun itu telah berubah menjadi krisis ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, menyebabkan harga-harga naik drastis. Banyak perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan sembako semakin langka. Krisis ini tetap terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan disanjung-sanjung oleh Bank Dunia. Yang dimaksud fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar dan realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.






1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
Pertumbuhan ekonomi (%)
7,24
6,95
6,46
6,50
7,54
8,22
7,98
4,65
Tingkat Inflasi (%)
9,93
9,93
5,04
10,18
9,66
8,96
6,63
11,60
Neraca pembayaran (US$)
2,099
1,207
1,743
741
806
1,516
4,451
-10,021
Neraca perdagangan
5,352
4,801
7,022
8,231
7,901
6,533
5,948
12,964
Neraca berjalan
-3,24
-4,392
-3,122
-2,298
-2,96
-6,76
-7,801
-2,103
Neraca modal
4,746
5,829
18,111
17.972
4,008
10,589
10,989
-4,845
Pemerintah (neto)
633
1,419
12,752
12,753
307
336
-522
4,102
Swasta (neto)
3,021
2,928
3,582
3,216
1,593
5,907
5,317
-10,78
PMA (neto)
1,092
1,482
1,777
2,003
2,108
4,346
6,194
1,833
Cadangan devisa akhir tahun (US$)
8,661
9,868
11.611
12,352
13,158
14,674
19,125
17,427
(bulan impor nonmigas c&f)
4,7
4,8
5,4
5,4
5,0
4,3
5,2
4,5
Debt-service ratio (%)
30,9
32,0
31,6
33,8
30,0
33,7
33,0

Nilai tukar Des. (Rp/US$)
1,901
1,992
2,062
2,11
2,2
2,308
2,383
4.65
APBN* (Rp.milyar)
3,203
433
-551
-1,852
1,495
2,807
818
456










*Tahun anggaran
Sumber : BPS,Indikator ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Keuangan Indonesia;
World Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
            Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah

 Menanggapi perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mulai merosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dengan memperlebar rentang intervensi. Namun pengaruhnya tidak banyak. Nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan. Tanggal 13  Agustus 1997 rupiah mencapai nilai terendah hingga saat itu, yakni dari Rp2.655,00 menjadi Rp2.682,00 per dollar AS. BI akhirnya menghapuskan rentang intervensi dan pada akhirnya rupiah turun ke Rp2.755,00 per dollar AS. 

                Tetapi terkadang nilai rupiah juga mengalami penguatan beberapa poin. Misalnya, pada bulan Maret 1988 nilai rupiah mencapai Rp10.550,00 untuk satu dollar AS, walaupun sebelumnya, antara bulan Januari dan Februari sempat menembus Rp11.000,00 rupiah per dollar AS. Selama periode Agustus 1997-1998, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terendah terjadi pada bulan Juli 1998, yakni mencapai nilai antara Rp14.000,00 dan Rp15.000,00 per dollar AS. Sedangkan dari bulan September 1998 hingga Mei 1999, perkembangan kurs rupiah terhadap dolar AS berada pada nilai antara Rp8.000,00 dan Rp11.000,00 per dollar AS. Selama periode 1 Januari 1998 hingga 5 Agustus 1998, depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS adalah yang paling tinggi dibandingkan dengan mata uang-mata uang Negara-negara Asia lainnya yang juga mengalami depresiasi terhadap dolar AS selama periode tersebut.



Perubahan Nilai Tukar Mata Uang Beberapa Negara Asia : 30/6/97-8/5/98.

Negara
US$/100 Uang lokal 6/30’97
12/31’97
Perubahan (%)
6/30-12/31
5/8’98
Perubahan (%)
1/1-5/8’98
Perubahan Kumulatif (%)
6/30’97-5/8’98
Thailand
4,05
2,08
-48,7
2,59
24,7
-36
Malaysia
39,53
25,70
-35,0
26,25
2,1
-33,6
Indonesia
0,04
0,02
-44,0
0,01
-53,0
-73,8
Filipina
3,79
2,51
-33,9
2,54
1,3
-33,0
Hongkong
12,90
12,90
0,0
12,90
0,0
0,0
Korea Selatan
0,11
0,06
-47,7
0,07
21,9
-36,2
Taiwan
3,60
3,06
-14,8
3,10
1,2
-13,8
Singapura
69,93
59,44
-15,0
61,80
4,0
-11,6
Serosot sejak bulan Mei 1997, pada bulan Juli 1997 BI melakukan empat kali intervensi dSumber 

Goldstein (1998)
Sebagai konsekuensinya, BI pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Dengan demikian, BI tidak melakukan intervensi lagi di pasar valuta asing, sehingga nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar.
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketikarupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.

Krisis Ekonomi Masa Pemerintahan Joko Widodo

Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah  mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo.  Indonesia dibayangi krisis ekonomi warisan  eras SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi. Sampai menjelang krismon 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.

                Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk. Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai kota, Suharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krismon 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.Celakanya, tak sedikit dari utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan! Bisa dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Sejak kasus Bank Century, kedua pilihan mengandung resiko berat. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.

 Berdasarkan kasus Bank Century itulah, Ketua umum Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono, telah berulang kali mengingatkan bahwa UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) harus segera dibuat. Tanpa JPSK, menurut Sigit, ketika terjadi krisis keuangan tak ada pejabat yang berani mengambil keputusan karena takut diadili secara politis dan pidana.
Sigit berharap agar UU JPSK mengatur tentang definisi krisis, siapa yang berhak menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tapi Sigit tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat. Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan. Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014. Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1% menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun 28,59%. Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR .
Selain kerugian yang dialami Bank terjadi juga penurunan nilai mata uang rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sempat menembus Rp 13.000/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 17 tahun terakhir, alias sejak era krisis ekonomi 1998 (krisis moneter/krismon).
Mulai dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga sejumlah menteri menyatakan, pelemahan rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Terutama karena mulai menguatnya perekonomian Amerika Serikat (AS), setelah dilanda krisis hebat pada 2008 lalu.Kondisi ini membuat dolar AS yang menyebar di negara-negara berkembang ‘pulang kampung’. Sehingga tak hanya rupiah, tapi banyak mata uang di duna yang juga melemah terhadap dolar.Namun analis asing punya pendapat lain soal pelemahan rupiah yang terjadi. Berikut rangkumannya seperti dikutip,

1.Akibat Pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI)

Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ mengatakan, pelemahan rupiah tidak lepas dari pernyataan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo beberapa waktu lalu. Agus sempat menyebut, bahwa tahun ini sepertinya inflasi Indonesia terkendali. Bahkan bukan tidak mungkin. inflasi sepanjang 2014 hanya berada di kisaran 4%.Pasar mengartikan ini sebagai sinyal, bahwa BI akan mulai mengendurkan kebijakan moneter. Salah satunya adalah peluang penurunan suku bunga acuan atau BI Rate.Ketika suku bunga semakin rendah, maka investasi di Indonesia sudah kurang menggiurkan. Akibatnya terjadi arus modal keluar (capital outflow) yang membuat rupiah melemah.“Sepertinya bank sentral mengizinkan rupiah melemah. Ini memicu lebih banyak arus modal keluar,” tutur Goh seperti dikutip dari CNBC.Pada 17 Februari 2015, kala BI memangkas BI Rate dari 7,75% menjadi 7,5%, rupiah melemah sampai 0,56%.

2. Pudarnya Jokowi Effect

Ada faktor lain yang menyebabkan rupiah cenderung melemah. Pelaku pasar saat ini sudah mulai rasional, dan sepertinya euforia terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden, atau sering disebut Jokowi Effect, sudah memudar. “Euforia atas kemenangan Presiden Joko Widodo tidak bertahan lama,” ujar Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Pasca pemilihan presiden (pilpres) 9 Juli 2014, pasar keuangan Indonesia menikmati ‘guyuran’ arus modal masuk (capital inflow). Rupiah pun menguat hingga nyaris 5% selama periode 25 Juni hingga 23 Juli. Setelah itu, rupiah cenderung melemah karena euforia Jokowi Effect sudah terkikis. Apalagi fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Goh.

3. Dolar Bisa Menyentuh Rp 13.250

Fundamental ekonomi Indonesia masih perlu dibenahi, misalnya defisit transaksi berjalan yang berada di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Jadi arus modal masuk itu tidak berkelanjutan,” kata Khoon Goh, Senior FX Strategy dari ANZ. Tidak hanya dari dalam negeri, rupiah juga tertekan faktor eksternal karena dolar AS begitu ‘perkasa’ terhadap mata uang dunia. Ini ditunjukkan dengan Dollar Index (perbandingan dolar AS dengan mata uang utama dunia) yang mencapai titik tertinggi dalam 12 tahun terakhir. Oleh karena itu, Goh memperkirakan rupiah masih bisa melemah lagi. Dia menilai pada akhir tahun rupiah akan berada di posisi Rp 13.250/US$.
4. Dollar menyentuh Rp  14.300
Pengamat ekonomi Didik J Rachbini menilai melorotnya nilai tukar rupiah hingga di atas 14.000 per dollar AS tak hanya disebabkan faktor eksternal tetapi juga internal. Menurutnya, faktor internal tersebut yaitu belum dipercayainya tim ekonomi pemerintah oleh pasar.
"Tim ekonomi pemerintahah baru yang tidak bisa meyakinkan publik dan pasar secara khusus. Dengan tim seperti ini meskipun pemilu berhasil dan ekonom-ekonom bilang rupiah akan kuat menjadi Rp 10.000 per dollar AS apabila Jokowi terpilih, tetapi karena tim ekonomi tidak meyakinkan maka rupiah terus merosot," ujar Didik saat dihubungi Kompas.com, Senin (24/8/2015).
Selain itu, respons pemerintah menjaga stabilitas rupiah dalam satu tahun terakhir ini juga dinilai tak maksimal. Masalahnya kata dia, lantaran pasar sebenarnya tak memiliki kepercayaan kepada tim ekonomi pemerintah.
"Dalam waktu kurang setahun rupiah sudah merosot dari Rp 12.000 ke Rp14.000 karena pemerintah masih belum dipercaya pasar untuk dapat meredam dampak faktor eksternal," kata dia.
Dari sisi neraca perdagangan, pemerintah juga dinilai tidak berhasil merespons penurunan ekspor sehingga neraca berjalan yang awalnya surplus menjadi negatif. Menurutnya, dari situlah awal masalah dan pelelahan nilai tukar terjadi.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sore hari ini melemah. Meski sempat menguat, mata uang Garuda makin tak berdaya terhadap dollar AS dan diperdagangkan di Rp 14.049 per dollar AS atau turun sebesar 0,78 persen.
Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro menyebut terpuruknya nilai tukar mata uang garuda di awal perdagangan hari ini, Selasa (8/9/2015) yang tembus 14.300 per dollar AS akibat ulah para spekulan.

Bambang menuturkan, turunnya angka pengangguran di Amerika Serikat (AS) telah membuat banyak pihak berspekulasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve) segera akan mengerek suku bunga acuannya.

“Meskipun kemarin di pertemuan G20 belum seperti itu bunyinya (mau naikkan suku bunga acuan). Jadi (hari) ini benar-benar pure spekulasi,” kata Bambang ditemui di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa sore.

Sebelumnya diberitakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada awal perdagangan di pasar spot, Selasa (8/9/2015), semakin terpuruk, bahkan sempat menembus level 14.300. Pukul 08.35 WIB, mata uang garuda melorot ke posisi Rp 14.304 per dollar AS, setelah dibuka di level 14.263,6. Kemarin, rupiah ditutupmelemahpada14.266.

Sementara sore ini, data Bloomberg menunjukkan rupiah pukul 15.00 WIB berada di posisi 14.272.



DAFTAR PUSTAKA

http://www.konfrontasi.com/content/tokoh/indonesia-era-jokowi-dibayangi-krisis-moneter-warisan-era-

sby-mau-kemana-wong-solo#sthash.ZvAZIsDV.dpuf

http://ock-t.blogspot.com/2011/12/krisis-ekonomi-di-indonesia-tahun-1997.html

http://accounting-media.blogspot.com/2013/01/penyebab-krisis-ekonomi-indonesia-1997.html

http://ekonomikro.blogspot.com/2010/09/kebijakan-ekonomi-pada-masa-orde-lama.htmlhttp://www.konfrontasi.com/content/tokoh/indonesia-era-jokowi-dibayangi-krisis-moneter-warisan-era-sby-mau-kemana-wong-solo

http://www.academia.edu/3827540/KRISIS_EKONOMI_INDO_2

https://gentagboy.wordpress.com/about/tugas-makalah/krisis-ekonomi/

http://www.slideshare.net/annasherley/kelompok-3-makalah-krisis-ekonomi

http://www.academia.edu/5885776/Makalah_Ekonomi

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5438babf57286/menanti-kebijakan-antisipasi-krisis-di-era-jokowi
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/09/08/151901426/Rupiah.Tembus.Rp.14.300.Per.Dollar.AS.Menkeu.Tuding.Spekulan?utm_campaign=related&utm_medium=bp-kompas&utm_source=bisniskeuangan&

2 comments:

  1. Bermanfaat, Terima kasih

    ReplyDelete
  2. Nama saya CORINA ALVARADO, saya dari Filipina dan saya tinggal di kota dipolog. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menulis kepada orang-orang yang membutuhkan pinjaman di internet bahwa jika Anda membutuhkan pinjaman nyata dan sah, karina roland adalah perusahaan yang tepat untuk diterapkan dari saya ditipu oleh 2 perusahaan saya mengajukan pinjaman dari dan karina roland adalah perusahaan ketiga yang saya lamar dari saya menerima pinjaman saya dari karina elena roland perusahaan pinjaman dalam waktu kurang dari 2 jam seperti yang dikatakan oleh perusahaan sehingga siapa pun yang membutuhkan pinjaman online tanpa scammed harus mendaftar dari karina roland dan beristirahatlah yakin bahwa Anda akan senang dengan perusahaan ini. Anda hanya dapat menghubungi perusahaan ini melalui whatsapp +1(585)708-3478 atau mengirim email ke karinarolandloancompany@gmail.com. Salam kepada siapa pun yang membaca pesan ini di seluruh dunia.

    ReplyDelete